Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah
Beberapa
fenomena kontemporer yang terjadi seperti pembuatan film yang dianggap
menghina umat Islam dan pembuatan kartun yang dianggap menghina Nabi
Muhammad saw adalah tanda bahwa hubungan antara Islam dan Barat sedang
tidak baik-baik saja. Mungkin bukan Islam dan Barat secara institusional
tetapi cara pandang masing-masing pihak terhadap yang lain yang memang
bermasalah.
Islam
dan Barat memang mengalami masa lalu yang buram bersama yang dimulai
sejak episode panjang Perang Salib yang berlangsung hampir dua abad.
Akbar S. Ahmed dalam bukunya, Postmodernism and Islam, berkata: Antara Islam dan Barat saat ini telah terjadi tiga benturan historis:
- Dimulai sejak terbitnya Islam dalam bentuk kedatangan pasukan Islam di Sicilia dan Perancis lalu pecah Perang Salib dan berakhir pada abad ke-17 ketika pasukan Usmaniah dihentikan di Wina.
- Terjadi pada masa kolonialisme ketika Eropa menjajah dunia ketiga yang kebanyakan adalah negara-negara Muslim. Pada akhir benturan kedua dan bangsa-bangsa Muslim sudah mulai merdeka, terlihat perbedaan antara peradaban Barat yang menang dan terus berkembang, dan peradaban Muslim yang kalah, menderita, kehilangan kepercayaan diri, dan arah intelektual.
- Terjadi saat ini ketika kultur Barat universal dan dominasi teknologinya menyerang peradaban Muslim. Serangan ini muncul dalam bentuk-bentuk yang sama sekali tak terduga dan di tempat-tempat yang tak terduga. Budaya-budaya yang diimport lewat teknologi informasi mampu menginvasi ruang-ruang yang paling terisolasi sekalipun dan menantang nilai-nilai tradisional Islam.
Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah
Kolonialisme dalam hal ini penting untuk ditandai. Madan Sarup, penulis buku Identity, Culture and the Postmodern Wolrd,
berkata bahwa kolonialisme bukan hanya tentang pengambilalihan wilayah
dan pemerasan ekonomi, tetapi juga tentang hubungan subjek dan objek
sebagaimana ada dalam konsep subjektivitas. Ajaran yang dilahirkan oleh
para penjajah kepada jajahannya telah mempengaruhi identitas juta orang,
di seluruh dunia, yang menganggap realitas nyata bahwa diri mereka
adalah subordinat yang terus bergantung kepada sebuah otoritas yang
berada entah di mana tetapi menghantui dan mempengaruhi hidup mereka.
Bagi
banyak kalangan umat Islam, kolonialisme adalah lanjutan Perang Salib.
Uniknya, kepercayaan seperti ini juga diyakini para
fudamentalis-fundamentalis Barat. Bahkan
bagi Karen Armstrong, peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan
gedung kembar World Trade Center di New York dan sayap gedung Pentagon
sangat erat hubungannya dengan memori Perang Salib. Ini tergambar ketika
Presiden Amerika ketika itu, George W. Bush merespon peristiwa 11 September 2001. Menurutnya, perang melawan terorisme memang bukanlah perang melawan Islam. Malah, ia berharap dukungan dari negara-negara Muslim seperti Iran, Mesir, dan Suriah. Namun celakanya, George W. Bush ketika itu menyebut respon terhadap teroris sebagai Perang Salib. Dan dunia mendengarnya.
Presiden Bush mewakili endapan alam bawah sadar orang-orang Barat terhadap Islam yang bagi Karen Armstrong,
bisa dilacak awal mulanya hingga ke Abad Pertengahan di tanggal 25
November 1095, ketika Paus Urban II menyerukan ekspedisi yang kemudian
dikenal dengan Perang Salib.
Cara pandang seperti ini sudah cukup menjadi dalil bagi para teroris
Muslim untuk melanjutkan perjuangan mereka lewat jalur kekerasan.
Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah
Apa yang sedang terjadi antara Islam dan Barat selama beberapa abad sebenarnya adalah pemahaman stereotip
terhadap masing-masing yang adalah warisang Perang Salib dan
Kolonialisme dan diperparah oleh arus informasi yang tidak seimbang
antara keduanya saat ini. Ini yang disebut oleh Homi Baba, seorang
pemikir pascakolonial, sebagai fixity, yaitu cara pandang perbedaan budaya/sejarah/ras di mana segalanya dianggap kaku dan tidak berubah. Fixity mengandaikan tidak adanya hubungan yang cair.
Para
teroris Muslim berfikir seperti itu demikian pula beberapa tokoh-tokoh
utama Barat yang berfikiran sempit. Salah satu contoh adalah Paus
Benediktus XVI yang dalam salah satu pidatonya menyatakan bahwa identitas Eropa adalah Kristen sebagai agama dan Yunani dalam filsafat.
Mengeksklusi
Islam dari peradaban modern Eropa seperti ini adalah pandangan yang
rasis yang tidak ada manfaatnya kecuali memelihara rasa saling curiga
antara Islam dan Barat yang selanjutnya akan melahirkan
stereotip-stereotip baru. Cara pikir seperti ini memandang setiap manusia hidup secara terpisah dan asing karena itu, yang ada hanya perseteruan abadi antara sang “kami” dan sang “mereka” yang asing. Lalu sang “kami” harus melindungi diri dari “mereka” dan “mereka”harus” mempertahankan diri dari serbuan “kami”. Fenomena ini lebih merupakan kegagalan komunikasi antarbudaya hingga melahirkan ketakutan-ketakutan serta kecurigaan. Tindak kekerasan dan sikap intoleran timbul dari sikap-sikap seperti ini.
Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah
Antara Islam dan Barat harus ada kesepahaman bahwa keduanya mempunyai potensi besar untuk membangun peradaban besar.
Banyak
sejarawan dan sosiolog menyatakan bahwa Islam adalah penyebab utama
gerakan Eropa dari kegelapan Abad Pertengahan menuju kecemerlangan
Renaisans. Ketika
Eropa masih terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika,
dan bidang-bidang lainnya, umat Islam telah berkembang melampaui
peradaban lain di masanya. Bassam Tibi mengatakan bahwa
lahirnya Barat Kristen yang modern adalah berkat kehadiran Islam karena
sejak sangat awal, Islam dan Barat Kristen telah berbagi sejarah dan
hubungan. Islam dan Barat Kristen memang saling melukai lewat
pengambilalihan kekuasaan atas nama jihad maupun lewat Perang Salib atau
kolonialisme, tetapi keduanya bersama-sama
saling memperkaya dalam budaya dan peradaban di mana Islam Abad
Pertengahan meminjam dari Hellenisme sedangkan rasionalisme Islam
diambil oleh Kebangkitan Eropa.
Di dalam peradaban Islam dan diasporanya di Eropa ada modal kebangkitan yang berdasar pada pandangan
dunia yang dibangun oleh rasionalisme Islam dan berkembang pada abad
ke-9 hingga ke-14. Para rasionalis Muslim, dari Al-Farabi hingga Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd sampai Ibnu Khaldun membangun pemikiran mereka pada
fondasi Islam yang telah ter-Hellenisasi-kan.
Referensi historis semacam ini tidak sekadar memperlihatkan hubungan harmonis antara kedua peradaban tetapi juga termasuk pembuahan silang budaya melalui peminjaman budaya. Dalam tulisannya yang lain, Bassam Tibi menyebut hubungan Islam dan Barat dengan “threat and fascination”
(ancaman sekaligus keterpesonaan). Keduanya pernah saling mengancam
dalam Jihad penaklukan dan Perang Salib, tapijuga saling mempesona lewat
budaya dan peradaban. Karena itu, terlalu sederhana menyebut hubungan
Islam dan Barat dengan istilah “clash” (benturan) sebagaimana disebutkan oleh Samuel P. Huntington.
Sumbangan yang saling menguntungkan antara Barat dan Islam tidak lantas
menghapus perbedaan yang hadir antara keduanya dengan sejarahnya
masing-masing. Demikian pula perbedaan yang ada tidak bisa menjadi
alasan untuk tidak mengakui bahwa keduanya saling berhubungan dengan baik.
Karena
itu, saling menghina dan saling merendahkan antara masing-masing
peradaban hanya merupakan penghinaan terhadap peradaban sendiri dari
pada penghinaan kepada pihak-pihak yang dihinakan.
Kaum Muslimin yang Dimuliakan Allah
Kesimpulan
khutbah kita kali ini adalah marilah kita melembutkan hati, memupus
kebencian dan kedengkian dan tidak menjadikan kebencian serta kemarahan
dalam hati kita lebih besar daripada kebesaran Allah swt. Hanya dengan
jalan seperti itu, kita mampu menghargai orang lain, pihak lain, dan
manusia-manusia lain yang berbeda agama, keyakinan, budaya, ras, dan
sebagainya.[]
0 komentar:
Posting Komentar