Ads 468x60px

Labels

Selasa, 27 November 2012

GAZA

Konflik bersenjata yang saat ini terjadi Jalur Gaza seolah juga menjadi perseteruan antara Israel dengan negara-negara Timur Tengah lain selain pejuang Hamas di Palestina. 

Seperti diketahui, Israel memiliki pendukung yakni negara Barat. Secara sederhana, Israel tidak butuh tak terlalu butuh dukungan jika telah menggenggam Amerika Serikat.

Mitt Romney –jika di pemilihan presiden lalu ia terpilih- akan memberi carte blanche untuk Israel yang merupakan kewenangan penandatanganan perjanjian atas nama negara yang berdaulat. Dengan carte blanche itu, Israel diberi hak untuk menjalankan perang guna mengamankan diri.  

Jadi adalah salah jika beranggapan bahwa Obama bisa menahan Israel. Israel sendiri meresmikan jabatan kedua presiden yang kembali terpilih, Netanyahu, bersamaan dengan berlangsungnya invasi terhadap Gaza ini. Dukungan untuknya menggema dari negara-negara Barat.

Dukungan ini berfungsi sebagai awal bagi rangkaian pembunuhan ilegal yang dilakukan Israel. Tidak ada yang baru dalam hal ini. Kekebalan yang diberikan kepada Israel tidak berbeda dari kenyataan bahwa Amerika menjamin negara mereka sendiri dengan menolak untuk menjadi bagian Mahkamah Pidana Internasional.

Sampai saat ini, tak satu pun komandan Israel yang pernah dihukum atas tuduhan kriminal terhadap Palestina –dari Jenin sampai Gaza. Para diplomat selalu mencari cara untuk menyamakan antara korban dengan penyerang. Dalam perang tahun 2008–2009, Israel dan Hamas dinyatakan bersalah atas kejahatan perang.

Jika seseorang ingin menganalisis konflik ini, simpati yang dicurahkan untuk Israel oleh politisi Barat serta berita yang dilansir media-media –yang mana Arab cenderung tidak memiliki andil– jawabannya, kekebalan Israel lahir dari kemarahan serta opini publik di dunia.

Yang akan terbaca dalam konflik yaitu bahwa Israel adalah satu-satunya bentuk demokrasi di Timur Tengah –seolah-olah merupakan alasan agar perang diterima. Ditambah, beberapa motivasi di balik ekskalasi saat ini yaitu untuk menopang dukungan terhadap duo Netanyahu-Lieberman. 

Artinya, ini merupakan bentuk demokrasi yang dipertanyakan di mana pencetus perang mungkin dimaksud untuk berkampanye. 

Beberapa pihak mengatakan bahwa Israel diposisikan di mana ia ‘harus merespon’. Tetapi, kapan terakhir kali Israel benar-benar menawarkan respon yang mengukur arspirasi rakyat Palestina untuk mendirikan negara? Bahkan selama hampir tiga tahun, diplomasi internasional tidak bertindak apapun untuk mengusung perdamaian. Justru diplomasi internasional lebih fokus kepada isu nuklir Iran, atau yang baru-baru ini isu Musim Semi Arab.

Militan dan kaum fanatik di Palestina –yang dianggap mengancam kedamaian Eropa dan Amerika– layak untuk diperangi. Namun, stigma perdamaian mereka buta terhadap sifat militer Israel serta gudang senjata nuklirnya, yang tetap terlindungi dari proses pemeriksaan internasional. Terlebih lagi, Israel mengabaikan perdamaian melalui embargo, pembunuhan pemimpin Palestina dan menginjak-injak upaya perdamaian. (Aljazeera.com/MG4-Dewinta)

0 komentar:

Posting Komentar