Pada awalnya –menurut Soedjatmoko–, Kepemimpinan agama (tradisional) berada di garda depan arus perubahan masyarakat. Setiap zaman memperlihatkan tokoh-tokoh spiritual yang aktif menegaskan identitas agama di masyarakat.[1] Yang menjadi soal, apakah pola keberagamaan yang lahir dari kesadaran personal setiap pemeluknya mampu menjadi ideologi dasar dan menunjukkan peran politiknya secara monumental serta sejauh mana? Tentu kita memerlukan sebuah kajian yang cukup serius mengenai hal ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba menganalisa peran politik agama dalam negara, yang diharapkan memperjelas posisi yang seharusnya diambil oleh agama dalam negara.
*****
Sebagai thesis awal, Tonybee –sebagimana dikutip Donald Eugene Smith– meyakini bahwa peradaban-peradaban besar yang masih berlaku secara mendasar berorientasi keagamaan dan karena itu secara berangsur-angsur menjanjikan pemecahan-pemecahan keagamaan terhadap sejumlah permasalahan organisasi sosial politik.[2] Selanjutnya dikatakan: “Yang paling pokok adalah hakikat pemerintahan yang secara essensial bersifat sakral yang merupakan keyakinan kuat dari umat Hindu, Budha, Muslim dan Katholik pada awal abad ke 19.”
Di beberapa “negara” abad ke-7, abad pertengahan dan modern, ternyata agama tidak terintegrasikan  secara penuh. Ada dua faktor mendasar, mengapa agama gagal menjadi “ideologi” dasar atau penuh sebuah negara. Pertama, keinginan pemimpin-pemimpin agama menciptakan sistem pemerintahan yang menganut sistem pemerintahan religio-politik, dibarengi sikap toleran terhadap pemerintah-pemerintah yang cenderung sekuler. Hal ini erat kaitannya dengan sikap-sikap tokoh agama yang cenderung memilih status quo dengan alasan “maslahat umat” seperti yang terjadi dalam sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah, dimana para “Shahabah” yang beranggapan bahwa model pemerintahan Bani Umayyah tidak sesuai dengan ajaran rasulullah memilih diam, juga terhadap prilaku politik sekuler dari Dinasti Bani Umayyah hingga masa keruntuhannya.[3]
Dalam negara modern, partisipasi politik pemimpim agama –yang menjadi pemimpin politik– Katholik, Budha, dan Islam cenderung menguat. Pada saat kegiatan politik yang melibatkan rakyat secara masal telah berkembang, partai-partai politik Katholik,[4] Hindu,[5] dan Islam[6] bermunculan.[7]
Kedua, adanya anggapan bahwa agama harus mandiri, tidak berfungsi sebagai kekuasaan an sich. Model keterlibatan agama dalam kekuasaan politik sebagai lembaga yang kritis yang mendampingi lembaga ekuasaan dengan sikap korektif.[8]
*****
Ada dua model dalam sistem religio-politik tradisional: model organik dan model gereja. Model organik ditandai dengan konsepsi penggabungan fungsi-fungsi keagamaan dan politik yang dimainkan oleh satu struktur tunggal. Penguasa menjalankan kekuasaan duniawi dan kekuatan spiritual sekaligus, dan fungsi utamanya adalah menegakkan tata sosial yang bersifat ketuhanan sesuai dengan hukum dan tradisi yang sakral.
Model gereja ditandai dengan ikatan erat antara dua lembaga yang berbeda itu satu sama lain, yaitu pemerintah dan lembaga keagamaan, yang satu sama lain dapat bertukar fungsi secara ekstensif di bidang politik dan keagamaan. Struktur gereja mempunyai landasan yang terpisah dari masyarakat maupun pemerintah.[9] Agama Hindu dan Islam termasuk agama –yang dikategorikan Smith– menganut model organik, sementara sistem gereja dianut oleh agama Budha dan Katholik. Tulisan ini mencoba melakukan kajian selintas terhadap pola-pola interaksi antara agama dan negara pada keempat agama tersebut.

Sistem Organik, Penyatuan Ideologi Agama Dalam Negara

Agama Hindu, terikat dengan sistem kasta: dalam pengertian bahwa tatanan sosial yang ditentukan Tuhan dalam bentuk hierarki adalah bagian dari hukum alam yang abadi. Setiap kasta memiliki dharma –norma yang telah ditentukan Tuhan (Deva)– sendiri-sendiri, dan yang berlaku secara umum yang dikenal sebagai Varnashrama-dharma.[10]
Di beberapa kerajaan Hindu yang jatuh beberapa saat setelah kemerdekaan India pada tahun 1947 dan di kerajaan Nepal, tugas pokok raja adalah mempertahankan tatanan sosial yang bersifat sakral tadi. Norma-norma tingkah laku sosial yang didasarkan atas otoritas kitab suci dan adat sejak dahulu dilaksanakan terutama melalui dewan-dewan kasta yang bersangkutan dengan pelestarian kesucian ritual dan status masing-masing kasta tersebut.[11] Maka ciri khas dari sistem religio-politik organik Hindu adalah: ideologi yang mewakili masyarakat sakral dalam kerangka hirarki kasta dan status kekuasaan raja yang absolut –di Nepal, raja dianggap sebagai titisan dewa Vishnu, yaitu dewa pemelihara menurut mitologi Hindu–, memiliki status ketuhanan dan bertanggungjawab mempertahankan tatanan sakral tersebut.
*****
Ulama-ulama Islam konservatif melihat tidak ada pemisahan antara Islam dan negara, dengan menafsirkan konsep masyarakat Islam pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW. sebagai sebuah konsep masyarakat ideal yang berdasarkan agama. Pada diri Nabi –sebagaimana dianalisa oleh Bernard Lewis, Islamisis dan Profesor Emiritus Universitas Princeton– terdapat dua kepemimpinan, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang politik.[12] Selanjutnya ia menuliskan, “Dengan demikian, masyarakat Islam pada masa Nabi, memiliki dua karakter (dual character). Pertama masyarakat islam sebagai masyarakat politik karena memiliki negara dan kerajaan. Kedua, masyarakat Islam sebagai masyarakat agama yang didirikan oleh Rasulullah.” Tafsiran semacam  ini tampak jelas dalam literatur-literatur klasik fiqh ahl as-Sunnah.[13]
Islam yang berangkat sebagai “rahmatan lil-’alamin” (memiliki perspektif kemanusiaan yang inklusif) berubah menjadi “‘Izzul Islam wal-Muslimin” (perspektif perkauman yang ekslusif) dan menjadi kebijakan resmi dalam negara-negara Islam pada periode awal.[14] “Masalah mulai muncul ketika Islam sebagai agama pembebasan untuk segenap manusia menjadi wacana kekuasaan, sebagai ideologi negara.”[15]] Asghar Ali Engineer dalam _Islam and Its Relevance To Our Age, melihat bahwa heterogenitas masyarakat Madinah waktu itu –yang terdiri dari campuran ras Yahudi, Arab pengelana terutama suku ‘Aus dan Khazraj, serta Imigran dari Makkah (Muhajirin)– sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler dewasa ini. Semuanya dipersatukan dibawah pimpinan Nabi dan disebut Ummah dengan “Piagam Madinah”.[16] Oleh karena itu maka revolusi tatanan sosial yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sebuah upaya mewujudkan masyarakat yang egaliter dimana seluruh klan dan pemeluk agama mampu hidup berdampingan secara damai (co-existence), bukan upaya mewujudkan negara teologis.[17]
Menurut Ernest Gelner –sebagimana dikutip Nurcholish Madjid– Islam mempunyai konsep keagamaan yang modern dengan ciri ajaran universlisme skripturalisme, egaliterianisme spiritual dan sistematisasi rasional kehidupan sosial,[18] meskipun beberapa negara Islam cenderung mempraktekkan Islam yang ideologis. Kerajaan Turki Ustmani misalnya –yang diuntungkan oleh pandangan egalitarianisme pada masyarakat religio-politik Islam Eropa abad pertengahan– berpendapat bahwa tugas penguasa (Sulthan) adalah mempertahankan tatanan agama serta mempersatukan berbagai lapisan masyarakat dengan memberikan kepada mereka hak-haknya. Sikap toleran terhadap non muslim berdasarkan sistem millet (millah) para pemeluk Yahudi, Yunani Ortodoks, Kristen Armenia Ortodoks dan agama-agama lain membuat agama-agama (millah) tersebut bebas menjalankan syariatnya. [19]dengan ini maka warga negara yang tidak beragama menjadi warga kelas dua.
Sebagimana sebuah “negara Islam”, maka kedudukan penguasa (Sulthan) menempati hierarki sosial paling tinggi, sebagai “khalifah” Tuhan dan wajib menjalankan syari’ah (Islamic Law) dalam negara. Dengan ini penguasa tidak memiliki kekuasaan legislatif, meskipun terdapat tradisi-tradisi Turki pra-Islam dan hukum-hukum yang sekuler dikeluarkan dan dinyatakan sah oleh sulthan-sulthan Ustmani. Otoritas  ulama di bidang pengadilan dan fatwa mendapat status resmi dan terdaftar sebagai pegawai pemerintah. Mufti tertinggi (Syaikhul Islam) mendapat wewenang yang luas di bidang syari’ah seperti persoalan-persoalan agama, politik, perpajakan, usaha pengembangan –seperti pemanfaatan kopi atau tembakau–, dan penemuan baru–seperti mesin cetak. Penguasa sangat membutuhkan legitimasi Syaikhul Islam ini.[20] Konsep pemerintahan ini masih berlaku di beberapa negara Islam hingga kini.
Inilah sistem religio-politik Utsmani yang organik, sebab hirarki ulama tidak terstruktur seperti gereja. Persoalan agama tidak diselesaikan oleh “gereja” tetapi oleh negara lewat Ulama.

Sistem Gereja, Simbiosis Mutualisme antara agama dan negara

Komponen utama yang mendukung sistem gereja ialah: ideologi agama yang integralis –seperti kristen–, struktur kegerejaan yang relatif maju dan otoritas politik yang mungkin lebih tinggi, lebih rendah atau setingkat. Pada masyarakat Budha Birma misalnya, Sangha (semacam gereja) tidak memberikan hukum ketuhanan apa pun untuk mengatur masyarakat, tidak mengeluarkan teori apa pun tentang organisasi sosial yang sakral dan tidak melakukan pengendalian sosial terhadap tingkah laku orang-orang awam, tetapi ia menjadi faktor pemersatu yang sangat kuat dalam masyarakat.
Penguasa (Raja) menjadi partner Sangha, meskipun mempunyai otoritas menentukan “penguasa Sangha” (Sangharaja), mendukung aturan disipliner pada semua hirarki keagamaan dengan kekuasaan duniawinya, melembagakan  “pembaharuan” Sangha dan secara menyeluruh berusaha meningkatkan kesucian dan martabat kalangan biksu. Sebaliknya Sangha memberikan dukungan terhadap kekuasaan raja, dan adakalanya nama pemerintah memperingatkan rakyat di wilayah tertentu untuk melunasi pajak, dan rakyat menghormati mereka.[21]
Berbeda dengan agama Budha di Birma, agama Budha di Tibet –yang asketik dengan amalan magi-keagamaan karena pengaruh Shamanisme (kepercayaan sejenis animisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Ural-Altic di Asia Utara dan Eropa)– baru berkembang teratur pada abad ke-8, ketika vihara-vihara dibentuk, diberi tanah negara dan diberi hak memungut pajak, meskipun pada akhirnya vihara-vihara membentuk sekte masing-masing dan mengalami perpecahan yang parah pada abad ke-14.
Dalai Lama V selaku pimpinan sekte Geluppa (Topi Kuning) yang berkuasa di Tibet mempersatukan negara dalam agama dan politik. Disini terlihat peran agama (gereja) berada di atas pemerintahan. Menurut Smith, bentuk pemerintahan keagamaan (gereja) di Tibet bersifat hirarkis dari agama Budha Tibet, dimana vihara-vihara dan struktur pemerintahan merupakan mekanisme-mekanisme yang digunakan untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Sistem integralisme di Tibet terdiri dari tiga komponen: ideologi integralis yang mendukung kekuasaan mutlak Dalai Lama di bidang duniawi sebagai titisan Dewa; struktur keagamaan yang sangat maju serta sistem tuan  tanah sehingga biksu mempunyai kekuasaan di bidang  ekonomi dan sosial: kekuasaan mutlak agama terhadap pemerintahan sipil.[22]
*****
Pengaruh konsep integralis Santo Thomas Aquinas –yang dipengaruhi peradaban Spanyol– tentang sistem hirarki masyarakat sangat kuat di Amerika. Menurut sistem ini, masyarakat adalah tatanan sosial yang bertingkat-tingkat dan memiliki hak serta kewajiban yang berbeda. Meskipun berbeda jauh, masyarakat tetaplah satu kesatuan yang “membangun kerajaan Tuhan” di jagat ini. Ada juga asas patriarchal, dimana kelompok yang lebih rendah mematuhi dan meghormati kepada kelas yang berkuasa yang berperan seperti ayah; mengeluarkan perintah.[23]
Frederick B. Pike memberikan komentar yang menarik mengenai hal ini:
“Pada abad ke-18, seorang pendeta peru mengemukakan argumen berikut ini dalam rangka membela absolutisme politik yang berlaku pada waktu itu: “Apakah putra mahkota itu menggunakan kekuasaannya dengan baik atau buruk, namun kekuasaan itu jelas diberikan oleh Allah… Bahkan andaikata pemerintahnya begitu tiranik hingga ia tidak lagi menjadi putra mahkota tetapi setan,… namun kita harus tetap percaya, dan tidak mengambil sumber lain kecuali Allah, Raja dari semua Raja yang boleh jadi secara tiba-tiba akan menolong kita menghadapi penderitaan-penderitaan ini.[24]
Dibidang hukum, gereja memiliki wewenang mengampuni atau memberi hukuman pengucilan. Pengadilan Suci Gereja Katholik Romawi pada abad ke-17 dan 18 misalnya, telah membatasi kebebasan di bidang penelitian dan pengembangan intelektual dan membatasi hak pemilikan kekayaan. Inilah yang menyebabkan lahirnya “Gerakan Reformasi” Protestanisme –dengan semboyan, “Ecclesia Reformata Semper Reformanda” (Gereja reformasi terus menerus melakukan reformasi)– yang ditindak lanjuti oleh “Gerakan Reneissance”yang memperjuangkan hak kreatifitas secara revolusioner”,[25] Protestanisme juga berperan terhadap tumbuhnya Kapitalisme,[26] Ketika kekuasaan gereja Roma melemah –pada abad ke-12 sampai ke-16, gereja Katholik Portugis dan Spanyol menghambakan diri kepada pemerintah. Tahta Suci memberi kekuasaan ekonomi, politik dan agama di Amerika kepada penguasa.[27] Tahun 1418, Spanyol mendapat restu kolonialisasi pulau Canari dan mengadakan pertobatan dari Paus. Raja berkuasa menunjuk uskup baru dan mendirikan keuskupan, mengirim misionaris, memungut pajak sepersepuluh bagi hirarki Gereja, di tanah jajahan.[28]
Di Kolumbia, kekuasaan gereja Katholik di bidang politik sebelum 1920 di bawah partai konservatif sangat kuat, hingga seorang presiden harus dipilih oleh Uskup agung Bogota. Konstitusi 1886 menegaskan bahwa agama Katholik adalah unsur penting dalam tatanan sosial. Concordat (perjanjian) antara pemerintah dan paus –yang disahkan tahun 1888– juga memberikan kekuasaan bidang pendidikan kepada gereja.[29] Maka Republik Kolumbia –pada tahun 1903– menjadi negara pertama yang terikat dengan Roh Kudus Yesus Kristus, dimana setiap tanggal 21 Juni, dengan dipimpin oleh seorang yang melambangkan bayangan roh kudus presiden,anggota kabinet, Kardinal, beratus-ratus pastor dan biarawan/biarawati serta ribuan anak-anak sekolah yang berseragam berjalan mulai dari Katedral Gereja Nasional di Bogota menuju Basilica Taman Nasional untuk melakukan upacara persembahan secara khidmat.
Secara garis besar, keempat agama di atas memiliki problema tantangan masa depan yang sama, yaitu menipisnya peran agama sebagai institusi yang mengikat pemeluk-pemeluknya. Proses sekularisasi yang terjadi, mengurangi peran politik dan sosial agama. Pembaharuan agama menghilangkan banyak hal-hal pokok yang “sudah disepakati” menjadi bagian integral pada sebuah agama.[30]
Untuk negara Indonesia yang sangat majemuk, menciptakan agama sebagai sebuah ideologi negara jelas tidak mudah. Dalam Islam, ada konsep masyarakat madani Rasulullah –dengan paradigma penafsiran Asghar Ali Engineer– dimana negara sebagai penyelenggara pemerintahan memberikan tempat bagi institusi-institusi keagamaan mengembangkan tradisi hukum masing-masing. Tradisi besar dan tradisi kecil masing-masing agama berkembang tanpa harus memberikan konsesi apapun. Apakah ini sebuah konsep “negara ideal” yang dicita-citakan Islam? Wallahu’alam.
Jakarta, Desember 1996

[1] Lihat Soedjatmoko, Etika Pembebasan; Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Penerbit LP3ES, Cet. I, Mei 1984, h. 164-165.
[2] Donald Eugene Smith, Religion And Political Development, An Analytic Study (Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970) terjemahan Drs. Machnun Husein, Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analitis, Rajawali Pers, cet. I, November 1985, h.6.
[3] Lihat tulisan Abdullahi Ahmed an-Na’im, Hak-hak sipil dalam pandangan Islam, Jurnal Tashwirul Afkar Edisi: No. 1/Mei-Juni 1997, h.78.
[4] Seperti yang masih berlanjut di beberapa negara Eropa saat ini, atau partai-partai konservatif yang ada di Argentina, Kolombia, Equador, Chili dan sebagainya.
[5] Seperti Partai Hindu Mahasabha dan Jana Sangha di India.
[6]Seperti Nahdlatul Ulama, Masjumi, Partai Muslimin Indonesia (Indonesia), Liga Muslimin, Jama’at al-Islami (Pakistan).
[7] Donald Eugene Smith, op.cit. h.7.
[8] Lihat TH. Sumartana, Agama dan Ancaman Kemanusiaan, dalam buku Agama Dan Kekerasan,  Kelompok Studi Proklamasi, April 1985.
[9] D. E. Smith., ibid h.13.
[10] Ibid. h.86-87.
[11] Ibid h.87.
[12]Lihat Syafiq Hasyim, Wacana Kekuasaan Politik dalam Perspektif Ahlussunnah Waljama’ah, Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No.3 Tahun 1998, h.21.
[13] Lihat Ibn al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Shulthoniyah,  Lihat juga study historis terhadap pola kekhalifahan Khulafa al-Rasyidun oleh Syaikh Muhammad al-Hudri Bek, Itmam al-Wafa’ fi Syirah al-Khulafa, dimana para ulama mengidealkan model pemilihan khalifah ala Rasulullah, Abu Bakr dan Umar bin al-Khattab sebagai model pengangkatan khalifah yang paling ideal.
[14] Meminjam istilah Masdar F. Mas’udi dalam Islam dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Tshwirul Afkar Edisi No.3 Tahun 1998, h.13. Masdar menggambar secara detail bagaimana Islam yang memiliki lima konsep pembebasan (yaitu 1. Perlindungan terhadap hak hidup/hifdz al-nafs, 2. Hak Beragama/hifdz al-din, 3. hak berfikir /hifdz al-aql, 4. Hak milik individu/hifdz al-mal(property right), 5. Hak mempertahankan nama baik/hifdz al-’irdl dan 6.Hak untuk memiliki katurunan/hifdz al-nasl) menjadi Islam yang diskriminatif terhadap umat beragama yang lain.
[15] Lihat Masdar, h. 12.
[16] Asghar Ali Engineer, Islam and Relevance to Our Age, Institute of Islamic Studies Bombay, 1987, terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqy dengan Judul Islam dan Pembebasan, LKiS Yogyakarta, 1993, h.19.
[17] Ibid. h.19-20.
[18] Nurcholish Madjid, ISLAM DAN DOKTRIN PERADABAN, Sebuah Telaah Kritis tentang masalah keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, cet 2, Desember 1992. h.467-468.
[19] D.E. Smith, op.cit. h.91-93.
[20] Ibid. h.93-94.
[21] Ibid, h. 96-99.
[22] Ibid. h. 98-103.
[23] Ibid. h.104.
[24] “Dikutip oleh D.E. Smith dari Frederick B. Pike, Catholicism in Latin America Since 1848, dalam The Christian Centuriesb buku ke-5 (London: Darton Longman & Todd Ltd.), Ibid. h. 105.
[25] Lihat Dr. T.B. Simatupang, Menghadapi Krisis Semesta Kemanusiaan: Suatu Pandangan Protestan, dalam Agama dan Kekerasan,  h.310-312.
[26] lihat Erich Fromm, Escape From Freedom.
[27] Ius Patronatus, kuasa mewartakan iman katholik beralih kepada kerajaan Portugis.
[28] Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Pustaka Sinar Harapan, cet. 1 1987. h.58. Lihat juga D.E. Smith, h.105-109.
[29] D.E. Smith, op.cit. h.109-113.
[30] Seperti pembaharuan Marthin Luther, Calvin, Zwingli terhadap kristen (katholik) yang radikal, sehingga beberapa pola pokok keagamaan hilang, seperti pola kekuasaan Paus dan bawahannya dalam hirarki eklesiastikal., lihat Nurcholish Madjid. op.cit. h.470.